Teruntuk para ‘purist’ desain grafis.
Setelah tiga tahun lebih menempuh pendidikan formal di jurusan Desain Komunikasi Visual (peminatan desain grafis), begitu banyak hal yang patut menjadi perhatian. Jelas satu hal yang menjadi sorotan adalah bidang keilmuan desain grafis itu sendiri, yaitu materi-materi perkuliahannya. Selain itu hal lain yang tak kalah menarik adalah para mahasiswanya. Walaupun tidak dapat dipungkiri, demi mempertajam poin diskusi pembahasan juga akan berkenaan dengan hal-hal akademis.
Seni rupa dan desain kerap kali dianggap masyarakat sebagai kaidah estetika semata, dan keperluannya hanya menjadi ‘pemanja mata’ saja. Kalaupun dianggap lebih penting, tingkatannya berubah menjadi sangat praktis. Contohnya, sebagai iklan yang tujuannya mengisi sektor marketing. Dilematisnya, pemahaman semacam ini bukan hanya menjangkit pemikiran masyarakat awam saja, namun juga seringkali ada pada para mahasiswa desain.
Zeitgeist
Tidak ada yang perlu diherankan sebetulnya, karena memang seni rupa dan desain — terlebih dalam konteks ini desain grafis — adalah suatu hal yang sangat niche. Desain grafis bukan dianggap sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan, berbeda dengan sektor ekonomi, politik, dan lainnya. Niche yang dimaksudkan adalah keberadaanya yang begitu segmented, tidak semua orang mengerti esensi dari desain grafis. Bila dianalogikan ke dalam konteks industri perfilman, desain grafis adalah film arthouse, bukan film komersil. Padahal desain grafis (menurut Kenya Hara, desainer grafis Jepang) berfungsi sebagai zeitgeist: menggambarkan bagaimana suatu ide dan kepercayaan dapat representatif terhadap era tertentu, atau dalam kalimat lain: mendeskripsikan spirit suatu waktu. Jelas spirit tidak akan terbentuk apabila desain grafis terus dianggap ‘tidak penting’ di masyarakat meluas dan hanya berdiri sendiri tanpa merepresentasikan apapun.
Maka dari itu, untuk memecahkan pandangan tentang desain grafis hanya soal keindahan visual, para desainer grafis seharusnya dengan cermat ‘masuk’ ke keresahan-keresahan yang ada pada zaman terkait; lalu menanggapinya dengan karya desain grafis yang representatif dan relatable. Lebih dari itu bahkan menjadi solusi dari masalah yang ada. Namun sesungguhnya jelas sulit untuk mencapai objektif demikian apabila para calon desainer grafis (dalam hal ini mahasiswa) seringkali memposisikan dirinya seakan-akan mendukung definisi yang terlampau membendung di masyarakat itu. Para mahasiswa-mahasiswa desain grafis sering kali begitu tertutup, sehingga menganggap desain grafis hanyalah desain grafis, desain grafis hanya persoalan dekoratif, hanya persoalan keindahan, sehingga pada akhirnya ‘miskin’ akan konteks. Ketidakpedulian terhadap kondisi sekitar seakan-akan menjadi hal yang biasa, rasanya kalimat semacam “Biarin lah, itu kan permasalahan orang lain, ngapain kita disuruh mikirin coba!”, “Wah gila, anak desain grafis disuruh belajar politik!”, “Duh biasa di depan laptop ngerjain desain, ini disuruh mikirin negara”, atau kalimat-kalimat senada lainnya sudah menjadi hal yang wajar didengar di lingkungan kampus, termasuk di kalangan mahasiswa desain grafis. Bahkan sikap apatisme seringkali menjadi sebuah keharusan bahkan tren. Tidak apatis sama dengan tidak keren. Dengan pemikiran demikian, jelas fungsi desain grafis sebagai zeitgeist tidak akan pernah terwujud sampai kapapun. Karena kenyataannya di balik visual yang konkret terdapat konteks yang kompleks.
Visual dan konteks
Salah satu contoh konkret atas pernyataan di atas adalah pergerakan desain grafis Punk yang dapat menjawab keresahan anak-anak muda Britania Raya dan Amerika Serikat pada tahun 1970an, bahkan hingga hari ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Pada awalnya Punk adalah musik. Namun dengan jelas para desainer grafis Punk, salah satunya Jamie Reid, dapat memperkuat pergerakan ini dengan forma visual yang amat konkret. Konteks menjadi peran utama atas terciptanya visual yang jelas: subkultur Punk pada saat itu termasuk para seniman dan desainer grafis di dalamnya memiliki spirit yang sama, yakni menginginkan adanya perubahan struktur sosial-politik-ekonomi, kemerdekaan individual, dan rasa yang amat sangat akan ketidakpuasan. Mereka menuntut perubahan fundamental dalam masyarakat, perubahan gaya hidup masyarakat yang berorientasi pada uang, sehingga kapitalisme amat masif berputar. Punk adalah pemahaman sosial tentang anti kemapanan dan anti konsumerisme. Visual yang dihasilkan jelas menjawab kebutuhan tersebut.
Menjadi manusia multidisiplin
Bila dikaitkan dengan isu dalam negeri, mahasiswa pada umumnya dikenal publik meluas sebagai pribadi yang kritis, progresif, dan terbuka. Poin-poin tersebut dibuktikan pada era menjelang kejatuhan Orde Baru, dimana mahasiswalah yang menjadi tonggak terdepan diruntuhkannya rezim fasis otoritarian tersebut. Pada banyak kesempatan terkait kritik atas ketidakadilan pemerintah — seperti halnya harga kebutuhan pokok yang melonjak, sengketa agraria, ataupun impunitas dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia — para mahasiswa juga tak jarang ikut serta dalam menyuarakan haknya, baik melalui demonstrasi ataupun aksi-aksi sosial.
Namun seiring berjalannya waktu, rasanya sikap kritis terhadap banyak hal memudar dikalangan mahasiswa. Terlepas benar atau tidak, setidaknya hal ini lah yang penulis rasakan. Sikap kritis tersebut perlahan berubah menjadi apatisme. Atau dalam kata lain ‘masa bodoh’. Sesungguhnya apabila dikaitkan dengan ilmu kedisiplinan desain grafis, sikap ‘masa bodoh’ ini jelas tidak dapat ditolerir. Karena pada dasarnya desain grafis tidak dapat berdiri sendiri. Bahkan, desain grafis seharusnya dapat mencangkup segala kondisi permasalahan. Lebih dari itu bila perlu menjadi jawaban atas permasalahan tersebut. Kata kuncinya adalah representatif. Representasi yang jelas tidak akan terbentuk apabila seorang desainer grafis tidak mengetahui kondisi sosio-kultural sekitarnya. Permasalahan-permasalahan di masyarakat hanya akan menjadi ide-ide semu yang tidak dapat tereprenstasikan dengan jelas.
Pada era keterbukaan segala akses ini memang sudah seharusnya setiap individu (tidak hanya mahasiswa) juga terbuka, tidak menutup diri atas kemungkinan-kemungkinan apapun dalam kehidupan. Seorang individu tidak seharusnya membatasi dirinya dengan apa yang sudah dipilih, karena hal ini bukan menjadi alasan untuk berhenti bereksplorasi. Sehingga, tidak terkekang oleh satu hal. Dengan begitu, manusia akan terus belajar akan premis-premis baru, tidak kolot: hanya membenarkan apa yang sekiranya dibenarkan dalam pikirannya. Dengan belajar manusia akan terus berkembang, menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kaya.
Pada dasarnya mungkin mahasiswa pada era kejatuhan rezim Orde Baru dan mahasiswa hari ini memiliki kesamaan, yakni kebencian. Kebencian akan politik. Namun kebencian yang dimiliki mahasiswa hari ini dan zaman orde baru sangatlah berbeda. Pada zaman Orde Baru kebencian yang ditimbulkan dilandasi oleh pengetahuan tentang kondisi sosial-politik, pengetahuan tentang kemanusiaan, dan rasa empati berkehidupan secara kolektif. Sedangkan hari ini kebencian akan politik dilahirkan karena ketidaktahuan, karena ketidakingintahuan, dan karena sikap apatis. Dalam konteks ini, penulis tidak berusaha untuk membuat para mahasiswa serta-merta membeci pemerintahan yang berlaku atau bahkan menjadi ultra-nasionalis sampai melupakan hak-hak kemanusiaan. Justru menjadi lebih peduli akan kondisi sosial sekitarnya. Sesederhana menjadi lebih kritis terhadap apa yang terjadi hari ini. Tidak sekedar bergelemut menghabiskan sisa studi kesarjanaannya hanya dalam pusaran Instagram, Pinterest, dan Behance, melainkan dapat memahami atau minimal berusaha mengetahui apa yang terjadi di lingkungan sekelilingnya. Karena dengan apatisme, desain grafis yang seharusnya dapat menjawab dan merepresentasikan kebutuhan akan gejolak di masyarakat justru hanya akan menjadi cita-cita utopis, yang (dilematisnya) mungkin tidak cita-citakan oleh para mahasiswa-mahasiswa hari ini.
This article was originally published on AKSIOMA ZINE on August 15, 2018. Written by: Rafi R. Krisananda, Edited by: Livia Margarita, Illustrated by: Rachelly Yahya.