Waktu dapat dikatakan sebagai musuh terbesar seorang desainer. Deadline yang mengejar dan waktu yang tidak pernah cukup, seakan selalu mengejar dalam semua pekerjaan dan membuat kita merasa tertekan. Meski demikian, banyak yang berkata bahwa waktu adalah teman yang baik dalam memberikan ide. Saat adanya tekanan dalam waktu (baca: kepepet) sebagian orang merasa menjadi lebih “termotivasi” dan memaksan ide-ide cemerlang untuk keluar. Sering kali kita mendengar, “jangan lupa proses, sketsa dulu, kalau proses diilangin ga akan bagus.” Hal ini saya akui sangat benar, process is key, tapi waktu terkadang menghalau kita untuk berproses. Waktu berhubungan erat dengan proses, karena waktu yang sedikit berarti proses yang sedikit juga.
Bila kita berbicara tentang proses dan waktu untuk menemukan kreatifitas, banyak yang mengatakan bahwa waktulah yang banyak memberikan ruang untuk berproses sehingga pada akhirnya banyak kreatifitas yang bisa didapatkan, sederhananya karena banyak waktu berarti banyak kesempatan berpikir. Tetapi, tidak bisa di pungkiri, waktu yang banyak memberi kesan santai dan menyebabkan adanya penundaan. Hal ini sudah saya buktikan berkali-kali. Sering kali kita sebagai mahasiswa desain mendapat kalimat ini, “Gimana sih masa gini doang, dulu jaman saya gaada nih komputer, internet, semua serba susah, semua serba ga ada. Masa kalian dimana semua gampang bikin cuman begini.” Well it’s kinda true. Teknologi yang serba ada dan serba gampang mempermudah kita dalam mempercepat proses, sehingga kita tidak butuh waktu yang panjang untuk mencapai apa yang dahulu kala lama di dicapai.
So, here’s the thing… Bila teknologi mempermudah dan mempercepat proses (yang berarti mempercepat waktu tanpa mengurangi proses) dan proses adalah hal yang krusial dalam desain, mengapa kita masih mendapatkan adanya under-process atau under-developed design ideas?
Dalam film Genesis: Together and Apart, seorang musisi bernama Peter Gabriel memberi insight yang membuat saya sadar akan sesuatu yang selama ini saya pertanyakan tentang kreatifitas dalam dunia serba ada ini. Saat ditanya mengapa pada album keduanya ia melarang drummer untuk memainkan cymbal, ia menjawab bahwa dengan memberikan mereka batasan, mereka bisa mencari cara kreatif untuk melampauinya. Apa yang saya tangkap dari wawancara ini adalah, waktu yang terbatas, yang dianggap membatasi ide, sebenarnya bukanlah suatu hambatan. Dapat disimpulkan bahwa batasanlah yang justru memberikan ruang bagi seseorang untuk menjadi kratif.
Oke… Mulai masuk akal kenapa banyak orang yang mengatakan “kepepet” adalah sarana kreatif yang baik, simply karena batasan itu.
Salah satu film dokumenter favorit saya adalah Side by Side. Film ini bercerita tentang peperangan seluloid dan digital dalam dunia perfilman. Menurut saya, film ini sangat menarik karena mereka menjabarkan aspek-aspek dalam perfilman dan membandingkan proses digital dengan film atau seluloid. Kreatifitas adalah salah satu faktor yang dibahas pada film ini, walaupun tidak secara langsung banyak membandingkan kualitas perfilman dahulu dengan sekarang. Bila kita ingat kata-kata tentang bagaimana enaknya menjadi mahasiswa desain sekarang dikarenakan adanya teknologi dan semua serba ada, film ini seakan membahas hal itu juga.
Hal yang paling berkesan bagi saya, diantara banyaknya pelajaran yang saya dapat dari film Side by Side ini adalah wawancara dengan Anne V. Coates, editor film Lawrence of Arabia, saat membahas proses editing. Anne mengatakan bahwa dulu tidak semudah sekarang. Sekarang bila dalam skenario film ada instruksi untuk membuat dissolve hanya semudah menekan tombol dan jadilah efek yang di minta. Dulu untuk mendapatkan hasil yang serupa melewati proses yang panjang, memotong film pada adegan yang tepat, menumpuknya pada waktu yang tepat, dan merekam ulang agar terjadi efek tersebut. Hal ini yang membuat Anne berfikir dan mencoba mencari alternatif dengan mengabaikan instruksi dan membuat direct cut. Salah satu adegan terbaik pada film Lawrence of Arabia adalah adegan “A Funny Sense of Fun” dimana cut antara Peter O’toole meniup korek menjadi salah satu cut film paling ikonik sampai sekarang, dan hal ini dikarenakan Anne mencari cara mengelabui batasan tersebut.
Hal lainnya yang saya dapat adalah dari David Fincher, sutradara Fight Club, saat membicarakan tentang directing. Dalam Film Se7en, David Fincher menggunakan seluloid. David berkata, “Sekarang enak shooting bisa langsung lihat hasilnya, dulu ada yang namanya daylies yaitu take yang diambil hari kemarin yang sudah dicuci dan dapat ditonton. Daylies menurut David adalah sarana yang membuat frustasi karena kita tidak bisa melihat apakah hasil take yang kita ambil sudah benar atau belum. Namun, terkadang hal ini memberikan kesan misteri pada take tersebut. Saat keesokan harinya kita melihat hasil dari hari sebelumnya kita bisa terkejut dan merasa kagum akan adegan yang bagus, suatu hal yang tidak dapat didapatkan bila kita melihat langsung.
Sutradara “Goodfellas” bernama Martin Scorsese berkata, “Terkadang kita butuh waktu untuk seakan-akan mundur, menjernihkan pikiran, melihat dengan berjarak karya kita (dalam kasus ini adegan pada daylies) agar bisa merasakan kekurangan dan kekuatannya.” Kita harus bisa memberikan waktu yang lebih untuk melihat dengan perspektif baru dan menjadikannya bagian dari proses. Instan tidaklah selalu benar.
Setelah melihat beberapa kasus yang dijabarkan, saya terkadang merasa iri, iri akan waktu dan proses yang dimiliki pendahulu kita karena batasan teknologi. Karena mereka tidak memiliki teknologi seperti sekarang (yang menjadi “batasan” bagi mereka), mereka jadi memiliki ruang berjarak. Waktu disini bukanlah luxury, bukan sebuah tambahan agar bisa lebih santai, tetapi waktu adalah proses mereka. Saya akhir-akhir ini menemukan keseruan dalam memainkan kamera analog. Saat pertama kali saya mencuci film, saya mendapat kejutan-kejutan seperti kata David Fincher. Hal ini membuat saya meromantisir teknologi lama tersebut. Batasan yang dibuat memberikan saya kepekaan dan rasa menghargai karya lebih lagi. Terkadang saya take for granted apa yang ada, merasa foto itu “gampang tinggal jepret,” kalau jelek ya hapus dan ulang lagi saja. Saat saya memainkan kamera analog saya merasa betapa berhaganya satu buah frame foto.
Saya tidak anti teknologi, juga saya tidak menulis ini untuk menyuruh orang meninggalkan teknologi dan kembali ke peralatan vintage. Tetapi, terkadang saya merasa dalam dunia serba instan ini kita bisa mencari kreatifitas dalam waktu dan proses, dalam suatu batasan. Ketika Anda dibatasi dan karena batasan itu Anda “dipaksa” memberikan waktu untuk proses, terkadang kreatifitas yang Anda cari akan datang. Setidaknya saya berharap tulisan ini memberi jalan alternatif bagi insan kreatif untuk mencari kreatifitas yang didambakan. Terkadang the act of limiting yourself bisa berbuah hal yang menarik, atau setidaknya Anda dapat lebih menghargai apa yang ada yang seringkali dianggap sudah biasa.
This article was originally published on AKSIOMA ZINE on August 15, 2018. Written by: Eldad Timothy, Edited by: Josephine Olivia, Illustrated by: Felicia Violetta.